Monday 20 July 2009

Deklarasi Pakta Pro Persaingan Sehat

UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) ini pada dasarnya adalah produk reformasi yang sejalan dengan amanat UU 1945 yang menggariskan sistem perekonomian nasional berasaskan kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Itulah sebabnya, tujuan pembentukan UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana diatur dalam pasal 3 (a) adalah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dapat dimaklumi, apabila tidak ada penegakan UU No.5/1999 ini, maka perekonomian nasional akan diwarnai oleh praktek monopoli, kartel, akuisisi, serta persekongkolan tender yang mengakibatkan struktur ekonomi makin rapuh sehingga pada akhirnya ekonomi rakyat semakin terpinggirkan dan pada akhirnya kemiskinan, kesenjangan pengangguran semakin meningkat.

Padahal, pasal 27 UUD 1945 bermakna bahwa negara menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, campur tangan negara harus dilakukan dalam rangka menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat.
Dalam usia satu dasawarsa pemberlakuan UU No.5/1999, KPPU telah menangani 2094 laporan dan mengadakan pemeriksaan sebanyak 229 perkara dan memutus 186 putusan serta 43 Penetapan. Sebagian besar perkara yang ditangani adalah menyangkut tender pengadaan barang/jasa pemerintah. Sementara untuk penyampaian saran, KPPU telah menyampaikan 64 pertimbangan kepada pemerintah.

Di bidang kelembagaan, KPPU telah berhasil menyempurnakan sejumlah ketentuan internal, yaitu antara lain terbitnya Peraturan Komisi tentang Kode Etik KPPU, Kelompok Kerja (Pokja) dan Tata Tertib Komisi.

Selain itu, KPPU juga telah menyelesaikan 7 buah Pedoman pelaksanaan UU No.5/1999 yaitu pedoman pasal 22 (persekongkolan tender), pasal 47 (sanksi), pasal 50 a (Pengecualian perundang-undangan), pasal 51 (monopoli BUMN), pasal 1 angka 10 (pasar bersangkutan), pasal 50 b (Hak Milik Intelektual) dan pasal 28-29 (pra notifikasi merger).

Meskipun demikian, KPPU menyadari bahwa pelaksanaan UU No.5/1999 selama 10 tahun ini masih menghadapi kendala dan tantangan. Beberapa agenda yang masih memerlukan perhatian dari UU ini adalah belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) tentang merger, akuisisi dan konsolidasi meskipun telah diperintahkan secara tegas dalam pasal 28-29, tiadanya kewenangan penyitaan alat bukti yang menjadi hambatan pemeriksaan serta belum kuatnya status kelembagaan KPPU.

Oleh karena itu, KPPU telah mendorong adanya amandemen UU No.5/1999 untuk memperkuat kewenangan, hukum acara serta posisi kelembagaan KPPU agar peran KPPU dan upaya pembentukan persaingan sehat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dapat lebih optimal.

Penciptaan iklim persaingan yang sehat dibutuhkan komitmen dan dukungan dari para pemimpin negara. Untuk itu, KPPU menggagas konsep pakta Pro Persaingan Sehat sebagai bentuk komitmen para Calon Presiden Republik Indonesia dalam menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.

Pakta Pro Persaingan Sehat oleh Calon Presiden Republik Indonesia ini menunjukkan betapa pentingnya komitmen dan dukungan dari Presiden terpilih untuk menjaga terwujudnya ekonomi kekeluargaan dalam bentuk demokrasi ekonomi yang menempatkan persaingan sehat pada posisi sentral dalam menggerakkan seluruh sumber daya ekonomi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Melalui penandatanganan Pakta ini, siapapun yang terpilih dari Capres saat ini bersama seluruh rakyat Indonesia memberikan kita rasa optimis bahwa negara Indonesia ke depan akan lebih maju dan sejahtera di tengah persaingan global dengan tegaknya hukum persaingan usaha yang sehat.




Friday 29 May 2009

DKI Tidak Tegas Tangani Carrefour

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemprov DKI dinilai tidak tegas menangani zonasi antara pasar modern dan pasar tradisional meskipun sudah ada aturan jelas, yakni Perpres No 112/2007 tentang jarak pendirian hipermarket, toko modern, dan pusat perbelanjaan dengan pasar tradisional.

Dalam aturan tersebut, jarak antara pasar modern dan pasar tradisonal minimal 2,5 kilometer. Namun, keberadaan pusat perbelanjaan Carrefour di Mega Mall Pluit, Jakarta Utara, yang berdekatan dengan pasar tradisional menyebabkan Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut penutupan Carrefour Mega Mall Pluit, Selasa (26/5).

Direktur Eksekutif Indonesia Monopoli Watch Girry Gemilang Sobar mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sudah seharusnya melakukan koreksi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Carrefour cabang Mega Mall Pluit. "DKI sudah mempunyai kekuatan hukum. Seharusnya, ketegasan itu sudah berani dilakukan pemprov," katanya, Kamis (28/5).

Keberadaan Carrefour Mega Mall Pluit sangat dekat dengan pasar tradisional Muara Karang sehingga dikhawatirkan akan mematikan keberadaan pasar tersebut.

Girry menyebut semakin gencarnya Carrefour melebarkan usahanya sebagai akibat kelonggaran aturan yang diberikan bagi peritel modern asal Perancis tersebut.

"Seharusnya ada pembatasan pengajuan izin operasi ritel modern. Lalu setelah terbit Perda No 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta maka setiap ajuan izin operasi tahun sebelumnya harus dikoreksi, apakah masih memenuhi syarat perda itu atau tidak," ujarnya.

Selain masalah zonasi, pemerintah dinilai belum tegas dalam mengatur jam beroperasi pasar modern bahwa masih banyak peritel modern yang melanggar aturan dan buka hingga tengah malam.

Sementara itu, Ketua DPW Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta Hasan Basri mengungkapkan bahwa kondisi pasar tradisional saat ini, baik di Jakarta maupun kota-kota lainnya di Indonesia, sangat menyedihkan karena ditinggalkan pembeli. "Pasar swasta terus berkembang dan menggeser peran pasar tradisional, yang dulunya menjadi mayoritas, sekarang menjadi minoritas. Perubahan itu terjadi, baik dalam hal jumlah, maupun omzet perdagangan," ujarnya.

Menurut Hasan, sejak tahun 1992 hingga 2005, di Jakarta sudah ada sembilan pasar tradisional yang tutup karena kalah bersaing dengan peritel modern. Kesembilan pasar yang tutup itu adalah Pasar Kebon Melati (Jakarta Pusat), Pasar Tulodong (Jakarta Selatan), Pasar Sudimampir (Jakarta Timur), Pasar Kampung Melayu (Jakarta Timur), Pasar INP Bidadari II (Jakarta Timur), Pasar INP Prumpung Tengah (Jakarta Timur), Pasar Kramat Raya (Jakarta Utara), Pasar Dusun (Jakarta Utara), dan Pasar Petak Sembilan (Jakarta Barat).

Hasan menambahkan bahwa dari 151 pasar tradisional di Jakarta, 60 persen diantaranya berada dalam kondisi sangat memprihatinkan dan bisa berdampak pada penutupan jika pengelola pasar dan pemprov tidak cepat melakukan tindakan penyelamatan.

Bantah
Dalam jumpa pers Rabu (27/5), Ignatius Andy, konsultan hukum dari PT Carrefour, mengatakan, berdasarkan riset The Nielsen Company, pangsa pasar Carrefour di ritel nasional pada tahun 2008 hanya sebesar 6,3 persen setelah digabung dengan ex Alfa. Adapun untuk pangsa pasar di ritel modern, pada tahun 2008 setelah digabung dengan ex Alfa hanya sebesar 17 persen. "Jadi sama sekali tidak punya posisi dominan," tegasnya.

Ignatius juga membantah tentang tuduhan Carrefour yang mendominasi pemasok. Bahwa berdasarkan data laporan keuangan empat perusahaan besar, penjualan pemasok kepada Carrefour tidak melebihi lima persen dari total penjualan.

Ia juga menegaskan bahwa, berdasar hasil penelitian, tidak ada konsumen yang hanya belanja ke Carrefour. "Setiap bulan hanya 2 kali ke hipermarket selebihnya ke minimarket dan tradisional," ucapnya.

Saat ini, tambah Ignatius, Carrefour bermitra dengan lebih dari 4.000 pemasok yang 70 persen adalah pengusaha kecil dan menengah dan 95 persen adalah produk nasional. (Kompas.com)